Gunung Awu di Sulawesi
|
Gunung Awu di Sulawesi |
Selepas magrib, kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak di antara kebun-kebun kelapa dan pala milik penduduk Desa Angges, Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, nun jauh di sana di Pulau Sangihe Besar di tengah Laut Sulawesi. Sesekali kami bertemu dan bertegur sapa dengan para petani yang baru pulang dari kebun mereka, sampai akhirnya hari sudah sangat gelap dan tak ada lagi orang yang kami temui di jalan. Kami melanjutkan perjalanan kami sambil sesekali berdiskusi tentang segala macam mulai dari takhayul, sosial budaya masyarakat Sangihe, mimpi-mimpi generasi muda Sangihe, sampai tentang kisah erupsi dari gunung berapi ini. Tak disangka jika gunung yang relatif tidak tinggi jika dilihat dari permukaan laut ini menyimpan kisah yang begitu dahsyat dan kisah itu tetap hidup sampai saat ini di segenap memori dan alam pengetahuan masyarakat Sangihe atau Sangir.
Gunung Awu merupakan salah satu dari 129 gunung berapi yang ada di lintasan cincin api nusantara meskipun tidak berada di lempeng Indo-australia, Pasifik atau Eurasia melainkan di lempeng Filipina. Awu dalam Bahasa Sangihe berarti abu atau sisa sehingga dipahami oleh masyarakat Sangihe bahwa sosok Gunung Awu saat ini hanyalah sisa dari sosok Gunung Awu di masa lalu yang pernah menghadirkan katastrofi yang begitu dahsyat. Awu saat ini hanya berjarak sekitar 5-7 kilometer dari kampung-kampung sekitar, tampak berselimut kebun-kebun kelapa dan pala, diramaikan oleh pemukiman penduduk, kadang nampak berkabut, bersemayam dalam damai dan memberikan kesuburan luar biasa bagi kebun-kebun pala, cengkeh, dan kelapa milik masyarakat. Namun masyarakat Sangihe sadar bahwa suatu saat gunung itu akan meledak kembali entah kapan, mereka tak mungkin lupa kisah-kisah tentang gunung ini.
Gunung Awu adalah satu gunung bertipe stratovolcano yang berlokasi di bagian utara Pulau Sangihe Besar, Kepulauan Sangihe. Memiliki profil setinggi 1320 m dari permukaan laut namun jika dihitung dari dasar laut tingginya mencapai 3300 meter. Dari catatan Smithsonian Global Volcanism Program, Gunung Awu pernah meletus pada tahun 1640-41, 1711, 1812, 1856, 1875, 1883, 1885, 1892, 1893, 1913, 1921, 1922, 1930, 1966, 1992, dan yang terakhir adalah 2004. Total telah merenggut sekitar 8000 nyawa dan ribuan orang harus mengalami cidera, kerusakan pemukiman, dan pengungsian besar-besaran. Dari daftar peristiwa letusan di atas, letusan pada tahun 1711, 1856 serta 1966 adalah yang tercatat cukup besar.
|
Gunung Awu di Sulawesi |
Rimpulaeng Macpal, 55 tahun, seorang masyarakat Kendahe menuturkan bahwa saat itu tanggal 12 Agustus 1966, ia masih di sekolah ketika pada jam 9 pagi, ada yang berteriak-teriak karena melihat munculnya asap hitam dari arah puncak Awu. Seketika orang-orang berlarian menuju rumah masing-masing, dan seiring dengan keriuhan itu pada pukul 9.30an terjadilah hujan batu pijar menghantam kawasan kampung Kendahe yang berada di sebelah barat Gunung Awu ini. Hujan batu pijar ini terus terjadi sampai tengah hari. Seusai hujan batu pijar ini, bergelombanglah pengungsian oleh penduduk menuju lokasi aman yang mereka telah tentukan yakni di sebuah pantai di sisi utara kampung melalui jalur laut, namun ada juga yang tetap bertahan di mesjid atau gereja. Setelah reda, saat semua orang telah kembali, mereka menyaksikan kampung mereka telah terbakar, atap-atap rumah-rumah hancur oleh batu pijar maupun abu vulkanik. Kondisi inilah yang memaksa sebagian besar warga kemudian diungsikan dan tinggal di Bolaang Mongondow.
ak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa Awu akan meletus hari itu. Namun menurut Ridion Sasiang, seorang tokoh masyarakat Kendahe sebenarnya ada tanda sebelum kejadian itu menurut orang-orang tua yakni munculnya orang gila di kampung entah dari mana yang berteriak-teriak bahwa gunung akan meletus dan menyuruh orang-orang pergi. Namun tak ada yang terlalu memperhatikan peringatan dari orang gila itu.
Pada letusan tahun 1856 tak ada catatan dari dalam negeri namun ada yang berasal dari luar negeri. Berikut catatan dari Sydney Morning Herald pada tanggal 11 November 1856. “..pepohonan tercerabut dan tersapu dalam suara gemuruh, diikuti sejam kemudian oleh suara guntur yang menggoncangkan bumi dan memekakkan telinga. Batu-batu dan abu berbentuk kolom seolah ditembakkan dari gunung ke atas dan kemudian jatuh, terang oleh lava membuat semua tampak seperti hujan api…batu-batu besar dilontarkan ke udara, menghancurkan apapun yang ditimpanya. Rumah-rumah dan tetanaman yang belum sempat dihancurkan oleh api tenggelam dan hilang di bawah debu dan batu..” Letusan tahun 1856 ini merenggut 2806 nyawa manusia (John Seach, volcanolive.com)
Namun tak ada yang seluar biasa dan se-monumental kejadian erupsi gunung ini pada tahun 1711 tepatnya pada tanggal 10 Desember. Menurut Science Daily pada tahun itu sebuah ledakan berskala indeks Moderate-Large menghancurkan beberapa kawasan di pulau ini dan merenggut 3000 jiwa akibat awan panas serta gelombang ledakan dari magma. Akan tetapi terdapat sebuah catatan yang sangat menarik selain kejadian geologis semata mengenai kejadian ini. Masyarakat Sangihe khususnya Kendahe mengingat masa ini sebagai masa paling kelam dalam sejarahnya karena dalam angka 3000 tersebut, juga terdapat anggota kerajaan junjungan mereka, nenek moyang mereka yang tenggelam bersama seluruh kerajaan dan “kota” Maselihe yang indah.
Menurut masyarakat Kendahe dan Sangihe umumnya, pada saat itu tak hanya letusan gunung yang membunuh melainkan juga terjadi angin puting beliung dan tsunami hebat sehingga kejadian itu dianggap sebuah malapetaka besar. Keyakinan lain adalah bahwa kejadian multibencana inilah yang menyebabkan kerajaan tenggelam (secara harafiah) ke dalam laut dan meninggalkan sebuah daerah tak berpenghuni yang sekarang dikenal dengan nama Tanjung Maselihe, tanjung yang terbentuk akibat tenggelamnya tanah dan kerajaan Maselihe di masa lalu.
Cerita ini kemudian berkembang antara sejarah dan mitos, berkelindan dalam memori segenap warga Sangihe bahwa mereka tinggal begitu dekat dengan bahaya. Awu adalah bahaya sekaligus berkat bagi mereka. Namun kejadian tersebut tak kemudian hilang, melalui mitos berkembanglah pembelajaran turun temurun, kisah yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi agar selalu orang-orang mengingat dan memandang penting keberadaan G. Awu bagi kehidupan mereka. Di Sangihe ada dua mitos yang terkait dengan gunung ini, yang pertama adalah Legenda Raksasa Bakeng dan yang lain adalah Mitos Maselihe. Keduanya bercerita tentang relasi antara tindakan manusia dan akibat-akibatnya.
Legenda raksasa Bakeng adalah legenda yang bercerita tentang seorang raksasa pemakan manusia yang ditipu oleh dua orang pemuda pemberani yang berjuang melepaskan saudari mereka dari ancaman dimakan oleh sang Bekang. Raksasa ini ditipu dengan menukar saudari mereka dengan anak sang raksasa sendiri, maka terjadilah hal paling memilukan yakni raksasa itu memakan anaknya sendiri. Dalam marah sebelum kematiannya, sang raksasa mengeluarkan kutukan bahwa matanya akan selalu melihat mereka dan akan membakar anak keturunan mereka. Kematian raksasa ini menandai munculnya Gunung Awu.
Mitos Maselihe berkembang dari kejadian sebenarnya yakni erupsi tahun 1711 (catatan mengenai angin puting beliung dan tsunami tidak tersedia) berkaitan dengan tenggelam dan hilangnya Kerajaan Maselihe (ini juga catatan sejarah sesungguhnya) akibat bencana besar itu. Ada keyakinan pada sebagian besar masyarakat (namun ada juga yang menolak teori ini) bahwa bencana besar itu merupakan jawaban alam akan pelanggaran besar yang dilakukan oleh sang raja yakni mengawini anak kandungnya sendiri.
Yang menarik dari mitos-mitos di atas adalah adanya kemiripan kisah di mana terdapat orang tua yang berbuat tidak pantas pada anaknya sendiri, terjadinya pelanggaran atas tabu besar dan bahwa alam tidak buta. Ia akan menghukum tindakan manusia yang lupa dan tidak menghargai hal-hal suci. Namun bila ditarik lebih jauh, keberadaan mitos dan legenda ini secara tidak langsung adalah pelanggengan pesan bahwa masyarakat Sangihe pernah mengalami bencana di masa lalu dan mereka selalu diintai oleh ancaman yang sama selama mereka tinggal di sana, maka selalu lah waspada dan ingat untuk menjaga setiap perilaku manusia baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam semesta. Bukankah mitos adalah salah satu cara mengantarkan pesan.
Tak terasa, perjalanan sekitar 4 jam mengantar kami di sebuah punggungan bukit di mana terdapat sebuah tanah agak lapang untuk membangun tenda. Dari sana pemandangan di bawah sungguh indah di mana ujung-ujung dataran tinggi sekitar Sangihe tampak menjulang di antara kegelapan di mana Laut Sulawesi mengelilinginya. Di atas kami sebuah lingkaran cincin bulan tampak utuh tanpa penghalang sementara di belakang kami tampak dinding bervegetasi yang akan kami daki nanti menuju puncak. Seluruh cerita dan refleksi tadi ikut berenang dalam pikiran bercampur dengan dinginnya malam. Menjadikannya pengantar tidur yang sempurna.
Pagi dini hari, saat gelap masih menyelubungi sekitar, kami mengepak kembali peralatan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak kawah G Awu yang terkenal itu. Medan yang tadinya bersemak dan penuh ilalang berubah menjadi lapisan batuan lava yang mengeras layaknya gunung api bertipe strato. Matahari mulai muncul di sisi timur dan menerangi permukaan bumi, menyibak hijaunya hutan yang semalam kami lewati dan membuka sinar keemasan yang terpantul dari laut. Sampai di puncak, kami berdiri di tepian kaldera namun tak bisa melihat ke dalam karena masih penuh kabut. Saya menunggu sambil penasaran ingin melihat kubah lava dan danau yang terbentuk sejak letusan 1922 yang sempat hancur oleh letusan 1931 dan 1966 sedangkan saat ini kubah ini kembali tumbuh.
Akhirnya kabut pun menghilang dari kawah dan tersajilah sebuah pemandangan indah di mana sebuah kubah lava tumbuh di tengah-tengah kawah dan masih mengeluarkan asap solfatara. Di sekitarnya masih tampak air yang merupakan sisa dari danau kawah di masa lalu. Keberadaan kubah lava di tengah-tengah kawah itu seolah menjadi jam weker bagi semua orang bahwa gunung itu masih tumbuh dan suatu hari ia akan meledak.
Semoga semua kisah-kisah dari masyarakat sekitar serta adanya kekayaan ilmu dan teknologi akan mampu bersinergi untuk membangun sebuah kebijaksanaan dalam sikap dan perilaku dan di sisi lain semakin menguatkan kewaspadaan akan bahaya yang ada. Selain itu rasa syukur perlu diungkapkan setiap hari pada Awu karena gunung inilah yang memberkati masyarakat Sangihe dengan air berlimpah dan tanah yang subur sehingga fuli-fuli pala tetap indah dalam merahnya dan para-para petani kelapa tetap berasap karena selalu ada kelapa yang diasapi di sana untuk dijadikan kopra. (ll)
SUMBER
http://wisata.kompasiana.com